Aug 8, 2016

Atlet Tarkam Profesional

Rasanya sudah lama sekali saya tidak bisa main sepak bola lagi. Dulu dikampung masih bisa sering main sepak bola atau sekedar melatih anak-anak untuk bermain sepak bola. Sepak bola adalah salah satu olahraga yang saya sukai. Karena menurut saya olahraga sepak bola wajib hukumnya untuk kaum-kaum yang mengaku jantan.
 
Sekarang setelah tidak bisa main sepak bola lagi, ada beberapa olahraga yang sering saya lakukan untuk melemaskan otot-otot saya. Yaitu angkat beban dengan menggendong anak, lari cepat sambil dikejar istri yang tangan kanannya membawa gergaji.
 
Perasaan seumur-umur saya tidak pernah berlari secepat ini seperti saat dikejar istri apalagi tangan kanannya sambil membawa gergaji.

Pesan dari saya adalah jangan suka mainin istri jika tidak mau dibawain gergaji.

Karena saya hobi banget dengan olah raga sepak bola, saya juga sempat menjadi atlet tarkam. Sudah banyak kampung yang saya singgahi untuk bertanding. Kalah, menang, dan imbang juga sudah sering saya rasakan.

Bayu Perkasa adalah nama tim kampung yang saya bela selama remaja belia. Saya heran siapa yang menyumbangkan ide dengan memberi nama tim sepak bola kampung kami dengan nama Bayu Perkasa. Menurut saya Bayu Perkasa malah lebih mirip pabrik obat kuat yang belum terdaftar di BPOM.

Tanpa ada kontrak dan gaji seperti klub-klub profesional, tapi saya bermain dengan sangat profesional. Itu saya buktikan dengan lebih memilih membela Bayu Perkasa di sebuah pertandingan dan membatalkan janji mengantar pacar untuk membeli pembalut.

Entah karena memang saya profesional atau gara-gara tidak mau malu. Biarkan saya dan Allah yang tahu.

Jarak 20 kiloan kami tempuh untuk hanya bisa bertanding dengan tim lawan. Emang bener-bener kampret teman saya yang belum ketahuan sampai detik ini, yang dengan binalnya mencari lawan dengan jarak sejauh ini. Maksud saya adalah kita ini hanya tim kampung, kelas tarkam. Jangankan presiden FIFA, ketua PSSI saja tidak tahu yang namanya tim Bayu Perkasa. Kenapa harus repot-repot nyari lawan yang jauh-jauh. Jika menang gak bawa piala, Kepala Desa juga gak bakal ngarak kita keliling kampung.

Kampungnya jauh dari peradaban kota, dari jalan raya masih masuk ke dalam Kampung, masuk lagi, lagi, lagi, dan lagi. Entah sudah berapa Kampung yang kami lewati untuk bisa menemukan Kampung Curut. Batu kerikilnya saja segede helm standart. Kanan kiri jalan masih banyak pohon-pohon besar dengan suara-suara khas hewan-hewan hutan.

Setelah lelah karena menempuh jarak yang lumayan jauh, sampailah kita di Kampung Curut. Kali ini serius, nama Kampungnya memang Kampung Curut. Namanya saja yang aneh tapi semua penduduknya manusia.

Kami langsung menuju lapangan kebanggaan masyarakat Curut. Seperti lapangan-lapangan yang ada di Kampung pada umumnya. Selain lapangan adalah surganya masyarakat untuk bermain sepak bola, di sana juga akan ditemui berbagai macam hewan ternak. Seperti kambing dan sapi.


Atlit Tarkam Profesional

Kambing dan sapi tersebut tentu tidak ikut berolahraga atau sedang rapat persiapan mengkudeta Pemerintah Desa. Ini adalah salah satu cara alternatif untuk merapikan rumput di lapangan agar tidak tumbuh panjang berlebihan. Kambing dan sapi seperti alat mesin pemotong rumput yang murah meriah tanpa mengisi bahan bakar dan Go Green tentunya. Masalah yang akan timbul hanyalah kotoran hewan tersebut yang bisa mengganggu. Untungnya sapi-sapi dan kambing-kambingnya di bawa pulang karena kesadaran para pemiliknya.

Jangan berharap tarkam akan ada standart waktu 45 menit, kick offnya saja dimulai pukul 16.30. Tanda permainan selesai adalah bedug magrib. Itulah bedanya antara standart tarkam dengan FIFA.

Pemanasan yang dilakukan tim kami juga gak berat-berat amat, hanya menghabiskan sebatang rokok dan sebuah jeruk. Itupun kalau ada jeruk, biasanya alternatifnya adalah permen diselingi dengan candaan kecil sesama pemain. Tidak ada formasi jelas, tidak ada taktik untuk sebuah permainan. Mau pakai 1 kiper dengan 10 striker juga tidak ada yang protes. Pergantian pemain bisa dilakukan sebanyak-banyaknya, kalau perlu pemain yang sudah keluar bisa masuk lagi.

15 menit babak pertama permainan berjalan tidak lancar, saya lihat para pemain Kampung Curut sangat lincah saat mendrible bola dibandingkan saya. Skor sudah 2-0 dengan keunggulan Kampung Curut.

Giliran saya yang mendapatkan bola. Saya berlari kencang sambil mendrible bola, ini kesempatan saya untuk menusuk langsung ke jantung pertahanan yang kosong ditinggalkan lawan. Kemudian mendadak saya menghentikan langkah kaki saya. Bukan... bukan dihadang pemain lawan, tetapi didepan saya ada setumpuk kotoran sapi yang terlihat masih fresh keluar dari pantat sapi.



Atlit Tarkam Profesional

Bola saya gocek ke arah kiri kemudian berhenti lagi. Sekarang saya malah dihadang kotoran sapi lagi dan satu pemain lawan yang mukanya mirip pantat sapi. Tanpa pikir panjang saya balik badan dan dari tengah lapangan bola saya tendang lambung ke arah kiper.

Kampung Curut terlihat sudah biasa dan menguasai lapangan dengan baik, sedangkan tim kami kebingungan karena banyaknya kotoran sapi. Sampai babak pertama selesai keunggulan masih dipegang Kampung Curut. Disela-sela istirahat untuk pertama kalinya tim kami berdiskusi untuk menentukan taktik. Tentu taktik kami tidak jauh-jauh dari candaan.

“Ada ide gak untuk diterapkan di babak ke dua nanti?” Tanya Broto. Broto adalah kapten tim Bayu Perkasa. Dia mengangkat dirinya sendiri sebagai kapten tanpa harus mengikuti pemilihan umum.


"Bagaimana kalau kita pulang saja, lapangan ini sudah banyak dipasang ranjau. Kalau kita paksa main akan banyak lagi korban yang berjatuhan?”

Ini adalah ide terburuk yang pernah saya dengar, pantas saja Yunus tidak pernah mendapatkan kesempatan bermain. Dia tidak bisa menghargai apa yang namanya “Fair Play Tarkam”. Denger-denger sebentar lagi dia akan dideportasi keluar dari kampung kami karena dia tidak masuk kebutuhan tim.

Belum selesai diskusi yang kami lakukan peluit tanda permainan babak kedua dimulai sudah terdengar sangat nyaring. Setan... istirahatnya cuma 5 menit. Anak SD saja istirahatnya 15 menit.

Kami masuk lapangan dengan penuh harapan agar tidak kebobolan lagi, sukur-sukur bisa menyamakan kedudukan. Masih ada 20 menit babak ke dua. 20 menit adalah waktu yang lama untuk saya habiskan bersama kotoran sapi. Bola sudah ada di tengah lapangan, saya bersiap melakukan kick off sembari menunggu peluit wasit.

“Priii...iiit...!!!” Suara nyaring peluit wasit.

Saya masih terheran-heran dengan semua pemain dari Kampung Curut, semangat mereka masih berkobar-kobar tidak pernah padam. Kotoran sapi tidak menjadi pemutus semangat mereka.

Pertandingan berjalan sekitar 15 menitan babak ke dua, Kampung Curut berhasil memperbesar keunggulannya menjadi 3-0. Umpan lambung dari sayap kiri berhasil ditanduk striker mereka.

Logikanya saya dan teman-teman harusnya kecewa karena kami tertinggal lagi, tapi tidak untuk sore itu. Kami semua malah tertawa sampai-sampai air mata dan ketuban saya keluar. Bagaimana kita tidak tertawa terpingkal-pingkal, jidad striker dari Kampung Curut kotor gara-gara bola yang diumpan teman satu timnya terkena tai sapi.



Atlit Tarkam Profesional

Dan anehnya pemain dari Kampung Curut merasa biasa-biasa saja, tidak merasa aneh atau jijik. Mereka semua malah tambah menggila, sedangkan saya dan teman-teman hanya bisa pasrah setiap ada pemain lawan yang drible bola. Mau di hadang juga percuma, sudah banyak tai sapi yang nempel di bola. Dimenit-menit akhir Kampung Curut berhasil menggenapkan keunggulan menjadi 4-0.

Pertandingan sore itu rasanya seperti sudah disabotase secara terstruktur, masif, dan tersistematis. Kita tidak hanya melawan tim sepak bola Kampung Curut tetapi juga kotoran sapinya. Selesai pertandingan yang tersisa hanya kotoran sapi yang menempel di sepatu dan beberapa jersey juga ada yang menjadi korban.

Perasaan saya sudah hati-hati saat berlari, masih saja kotoran sapi ada yang keinjek juga.

Artikel Terkait