Saat ada yang mengatakan Jepara, yang terlintas di pikiran saya adalah kota ukir, Kartini, pantai, dan Karimunjawa. Atau yang masih hangat di pikiran kita semua adalah Narkoba. Apalagi saat saya dan istri pindah ke Jepara, gak pernah terbayang sedikitpun oleh kami mendapatkan tugas mengajar di salah satu desa yang daerah geografisnya pegunungan. Padahal yang kami tahu Jepara itu gak ada gunung. Walaupun kami masih bisa bersukur karena gak di tempatkan di Karimunjawa. Denger-denger akses transportasinya lebih susah.
Sebelumnya kami di Purwodadi juga ngajar di desa, jadi untuk adaptasi gak jadi masalah. Jika dulu saat berangkat kerja selalu melewati sawah dengan jalan lurus, sekarang saat berangkat kerja yang di lewati pohon-pohon dengan jalan naik turun dan berbelok-belok. Memang cirikhasnya daerah pegunungan.
Sekolah tempat kami mengajar bisa dibilang masuk daerah perbatasan Jepara-Kudus. Setiap pagi Gunung Muria terlihat sangat dekat. Mungkin karena masuk daerah lereng Gunung Muria membuat daerah di sini terasa lebih adem ketimbang di Purwodadi.
Saya sendiri sedikit heran saat pertama kali datang ke sekolah. Cek hape, sinyal gak ada. Sekali ada sinyal bentar, ngilang lagi. Nyari sinyal aja susah banget. Kemungkinan di sini pulsa akan jadi irit dan awet gara-gara jarang dipakai.
Pagi itu seperti pada umumnya seorang Guru baru yang pindah sekolah, saya diberi kempatan Kepala Sekolah untuk memperkenalkan diri di depan Guru lain.
“Hai... saya Guru baru, doakan saya semoga berhasil ya...” #sok imut *dilempar kapur. Iya batu kapur.
Setelah memperkenalkan diri, kemudian saya diajak Kepala Sekolah berkeliling area sekolahan, sambil ngobrol dan saling melempar pertanyaan. Setiap pertanyaan dari beliau yang bisa saya jawab, saya mendapatkan hadiah. Dan setiap pertanyaan dari saya untuk beliau yang tidak bisa dijawab, langsung beliau saya hukum lari keliling lapangan.
Disela-sela obrolan beliau meminta saya untuk melatih anak-anak senam SKJ. Saya langsung ketawa terpingkal-pingkal saat itu.
“Ha... ha... ha... ha... ha... ha...!!! apa Pak!!! Senam SKJ?”
“Iya, senam SKJ. Ada masalah?”
“Ha... ha... ha... ha... ha... ha...!!! tentu saja adalah Pak!!! Ehmmm!!! Maksud saya gak ada Pak”
“Baiklah, berarti setiap Jum’at nanti anak-anak sudah bisa senam bersama di halaman sekolah”
Muka saya mendadak pucet, nahan kentut dan pipis yang sama-sama mau keluar. Saya ijin ke WC sekolah, di dalam WC saya malah lupa pengen ngapain. Saya cuma bisa menatap jamban WC sambil senam SKJ. Baru satu gerakan saya jadi tersadar kalau saya gak bisa senam SKJ. Ternyata tadi saya hanya melakukan gerakan menyiram jamban, dan itu bukan salah satu dari gerakan senam SKJ.
Seketika saya pengen nangis. Iya nangis karena hape yang tanpa sinyal jatuh ke dalam jamban.
Ini menyangkut harkat dan martabat saya sebagai Guru Olahraga, gak mungkin saya bilang kalau saya gak bisa senam SKJ. Walaupun kenyataannya memang begitu, mau di taruh dimana muka saya nantinya.
Saya kemudian sedikit basa-basi ke salah satu teman Guru. Saya menanyakan apakah sekolah ini mempunyai kaset senam SKJ. Dan ternyata Guru kelas empat, Bu Titin namanya. Mempunyai kasetnya, dan besok akan dibawakan untuk saya gunakan untuk latihan bersama anak-anak.
Keesokan paginya saat saya berangkat ke sekolah, saya menanyakan kasetnya ke Bu Titin. Gayung jambanpun bersambut, Bu Titin sudah membawakan kasetnya. Pagi itu saya gak langsung mengajarkan senam kepada anak-anak, saya memberikan materi lain. Karena kemungkinan akan kacau jika saya mengajarkan senam SKJ karena saya sendiri gak menguasai gerakannya.
Setelah jam pelajaran olahraga selesai, saya langsung membawa leptop ke dalam ruang perpustakaan. Tujuan saya sih pengen latihan senam SKJ di dalam perpustakaan, paling gak saya targetkan tahu gerakan-gerakannya. Saya berpikir ruang perpustakaan sepi jadi saya bisa berkonsentrasi penuh saat latihan.
Saya buka leptop kemudian saya buka video senamnya. Saya memperhatikan gerakan per gerakan. Rasa sombong perlahan keluar dari diri saya. “Gerakan senam gini aja pasti gampang untuk dipelajari. Dua hari juga udah menguasai semua gerakannya”
Rasa sombong memang beda dengan kenyataanya, target dua hari bisa menguasai semua gerakan senam SKJ cuma jadi khayalan saja. Hari berganti hari, minggu berganti minggu. Akhirnya tepat satu bulan baru saya bisa menguasai senam SKJ. Itupun terkadang saya masih lupa urutan gerakannya. Saya terlalu menyepelekan sesuatu masalah.
Siap gak siap akhirnya saya harus cepet-cepet melatih anak-anak. Jika tidak pasti sekolah jadi kecewa, kususnya Pak Muji. Gak mungkin saya mengecewakan Kepala Sekolah.
Waktu itu kelas enam adalah kelas yang mendapatkan kesempatan pertama untuk saya ajarkan senam SKJ. Saya lihat mereka cepet hafal gerakannya, walaupun ada beberapa anak yang gak bisa cepet ngerti. Paling gak saat ada kegiatan senam bersama, kelas enam bisa saya taruh depan untuk diikuti kelas lain.
Sampai sekarang kegiatan senam sudah menjadi kegiatan rutin disetiap hari jum’at pagi. Dan beberapa minggu akhir ini saya juga diminta emak-emak komplek tempat tinggal saya untuk jadi instruktur senam.
Sebetulnya gak jadi masalah untuk saya, tapi melatih senam anak SD dengan emak-emak itu beda banget. Anak-anak di sekolah cepet hafal gerakannya gara-gara mereka pengen dapet nilai bagus. Karena terkadang senam saya jadikan materi penilaian.
Kalau emak-emak komplek?
Mereka senam bukan karena nyari nilai, buat seneng-seneng. Dapet keringet itu dijadikan bonus. Kalau gerakannya salah mau saya betulkan juga jadi terasa sungkan, pengen cengengesan juga gak enak.
“Ibu-ibu... senam pagi ini sangat mudah dan gampang. Pada dasarnya senam adalah hasil dari sepuluh dikurangi sempat”
“Pletakkk!!!” *wajan terbang ke kepala
Senamnya dilakukan setiap hari minggu pagi, tapi dari hari sabtu saya sudah keringetan gara-gara grogi.
Senamnya dilakukan setiap hari minggu pagi, tapi dari hari sabtu saya sudah keringetan gara-gara grogi.
Saya gak ngerti kenapa semua emak-emak ini percaya kalau saya adalah instruktur yang patut untuk melatih mereka. Gak ada sedikitpun rasa takut kalau saya akan mempraktikkan gerakan-gerakan berbahaya. Atau mereka tahu kalau dengan kapasitas otak sebesar biji nangka, gak mungkin saya akan menjerumuskan mereka semua.