Dulu saat saya masih kecil sering pengen beli jajan ini itu tanpa tahu jajanan tersebut bahaya atau tidak. Pengen beli mainan ini itu tanpa mengerti kondisi kedua orang tua saya saat itu mempunyai uang atau tidak. Di saat orang tua saya menolak membelikan apa yang sedang saya inginkan, yang saya tahu hanya mereka itu jahat. Karena tidak menuruti apa yang saya inginkan.
Di saat saya tumbuh dewasa, kedua orang tua saya semakin sering bertausiyah. Dan seperti biasanya juga, setiap pesan yang mereka berikan untuk saya hanya masuk telinga kanan dan keluar lewat pantat.
Padahal saat itu saya merasa jika saya bukan anak kecil lagi yang harus setiap hari diberitahu ini itu. Saya merasa kalau saya sudah dewasa, sudah cukup mengerti mana yang baik dan mana yang buruk untuk saya sendiri. Walaupun kenyataannya itu semua hanya pemikiran semu, masih saja saya melakukan kebodohan. Pamit dari rumah berangkat sekolah malah bolos sekolah, bilang ada praktek pulang sore malah ternyata main PS sama teman, dan masih banyak kebodohan yang pernah saya lakukan. Sampai ngumpet di Rumah Sakit gara-gara dikejar Satpol PP juga pernah saya rasakan.
Terkadang saya merasa ada penyesalan, kenapa saya banyak menyia-nyiakan waktu untuk hal-hal yang tidak berguna.
Sekarang saya sudah berumah tangga, jauh dari orang tua. Pengennya “mandiri”.
Dan keluarga kecil kami tambah personil baru. Kemarin saya sempat bergelar laki-laki tertampan serumah, tapi untuk saat ini gelar itu direbut dengan kejinya. Hafizh merebut gelar itu. Di Kartu Keluarga Hafizh masuk sebagai anggota baru. Di sana tertulis nama Hafizh Luqman Hakim Ayyasi sebagai anak.
Saya bukan mempermasalahkan gelar laki-laki tertampan serumah yang saya dapatkan telah direbut si makhluk kecil yang bahkan gigi saja belum tumbuh. Tetapi saya merasa digiring lagi ke masa-masa yang sudah saya lewati. Banyak pertanyaan yang muncul di pikiran saya.
Dan keluarga kecil kami tambah personil baru. Kemarin saya sempat bergelar laki-laki tertampan serumah, tapi untuk saat ini gelar itu direbut dengan kejinya. Hafizh merebut gelar itu. Di Kartu Keluarga Hafizh masuk sebagai anggota baru. Di sana tertulis nama Hafizh Luqman Hakim Ayyasi sebagai anak.
Saya bukan mempermasalahkan gelar laki-laki tertampan serumah yang saya dapatkan telah direbut si makhluk kecil yang bahkan gigi saja belum tumbuh. Tetapi saya merasa digiring lagi ke masa-masa yang sudah saya lewati. Banyak pertanyaan yang muncul di pikiran saya.
“Apa bisa saya menjadi orang tua yang baik?”
“Memenuhi semua kebutuhan-kebutuhan Hafizh?”
“Memberikan contoh baik kepada Hafizh?”
“Menjaga Hafizh agar kelak benar-benar menjadi “orang”?”
“Apa bisa harga gas melon tidak naik?” *Abaikan.
Berarti dulu kedua orang tua saya tidaklah sejahat itu, bukanlah over protective. Tetapi mereka menginginkan yang terbaik untuk anaknya kelak. Sekarang saya ditempatkan di posisi sebagai orang tua untuk anak saya. Saya bisa merasakan bagaimana rasanya menjadi orang tua. Pastinya saya juga menginginkan yang terbaik untuk anak saya.
Apalagi ini anak pertama. Terasa berat karena kami jauh dari keluarga, jauh dari kedua orang tua kami. Semuanya masih tahap “belajar”. Cara memandikan Hafizh saja kami sempat merasa kebingungan, di saat Hafizh menangis dan kami tidak tahu apa yang dia pengen. Kami juga merasa bingung.
Beruntung sekali untuk kamu yang sudah berumah tangga dan dekat dengan kedua orang tua kamu, tidak terpisah jarak. Pengalaman orang tua kamu saat mengurus kamu saat masih bayi bisa langsung dibagi secara live. Sedangkan kami cuma bisa mengurus semuanya sendiri. Walaupun terasa berat kami tetap harus menikmati itu semua dengan senyuman.
Beruntung sekali untuk kamu yang sudah berumah tangga dan dekat dengan kedua orang tua kamu, tidak terpisah jarak. Pengalaman orang tua kamu saat mengurus kamu saat masih bayi bisa langsung dibagi secara live. Sedangkan kami cuma bisa mengurus semuanya sendiri. Walaupun terasa berat kami tetap harus menikmati itu semua dengan senyuman.