Dec 31, 2015

Ini Cara Kami Bertahan Hidup

Sejak kecil saya senang sekali melakukan berbagai macam aktivitas olahraga, dari jogging, main bola di lapangan, ikut kasti sama temen cewek-cewek, sampai ikut olahraga ekstrim yang menantang adrenalin seperti main bekel. Gak heran nilai pelajaran Penjas di rapor saya selalu tinggi.

Sampai saya sudah menikah, saya masih suka berolahraga. Walaupun gak sesering saat saya masih jomblo. Maklum dulu saat masih jomblo masih banyak waktu luang untung berolahraga. Olahraga yang sering dilakukan seorang jomblo seperti saya adalah lari. Iya, lari mengejar cinta yang lama tak pernah menghampiri.

Tetapi dari dulu saya gak pernah sedikitpun mempunyai pikiran untuk menjadi seorang atlet dari salah satu cabang olahraga yang saya favoritkan. Saya hanya hobi bukan terobsesi. Dari semua cabang olahraga, sepak bola menjadi favorit saya. Sejak duduk di kursi SMP saya mengikuti SSB (Sekolah Sepak Bola). SSB Jitu Putra adalah tempat saya untuk menyalurkan hasrat bermain sepak bola. Dari SMP sampai lulus SMK saya aktif mengikuti latihan di SSB Jitu Putra. Lewat SSB ini juga saya bisa masuk memperkuat tim kecamatan untuk mengikuti kejuaraan PORKAB.

Karena suka berolahraga, setelah lulus SMK saya memutuskan untuk kuliah mengambil jurusan POK (Pendidikan Olahraga dan Kesehatan). Jurusan yang dimana semua mahasiswanya berlomba-lomba memamerkan bau keteknya masing-masing. Gak mahasiswa dan mahasiswinya sama-sama bikin pedih di mata gara-gara bau ketek. Konon bau ketek siapa yang paling mirip mendekati bangkai, bisa dipastikan dialah orang yang paling aktif dan jago menguasi berbagai macam olahraga yang ada di bumi ini.

Dalam waktu 5 tahun saya menyelesaikan S1 saya di salah satu Universitas swasta yang ada di Solo. Menjadi mahasiswa jurusan POK memaksa saya harus selalu berkeringat karena berbagai macam aktifitas praktik olahraganya yang selalu saya ikuti. 
Rata-rata satu kelas mahasiswa dan mahasiswinya mempunyai keahlian menguasai salah satu cabang olahraga. Ada yang jago badminton, voli, sepak bola, judo, karate, anggar, dan gundu. Mereka mempunyai spsesialisasi masing-masing.


Makanya mahasiswi POK itu gak ada menarik-menariknya di mata saya. Selain selalu berkeringat, otot mereka juga sebesar knalpot motor. Gak kebayang kalau punya pacar mahasiswi POK dan saat bertengkar, pasti cowoknya bisa ditempeleng habis-habisan. 
Gak bisa dipungkiri mahasiswi POK mepunyai bentuk tubuh yang seksi-seksi karena seringnya berolahraga. Tapi kalau keinget otot-otot mereka saya jadi merinding sendiri.

Karena pada dasarnya saya sudah menyukai olahraga, jadi kuliah terasa gak berat-berat amat. Paling yang berat adalah ongkos makan. Logikanya adalah banyak aktifitas olahraga yang dilakukan banyak juga kalori yang terbuang, dan mengakibatkan bulu ketek akan selalu basah. Gak cuma bulu ketek yang selalu basah tetapi juga mengakibatkan kebutuhan makan meningkat tajam.

Untuk menyiasatinya saya dan teman kost menerapkan hidup gotong royong. Gak rugi saya selalu memperhatikan pelajaran PPKN saat SD dulu. Saya, Dedi, Shandy, dan Irfan adalah mahasiswa yang sama-sama jauh dari rumah, satu daerah, satu tempat kost, dan satu tujuan. Kami berempat selalu hidup rukun kecuali berantem saat berebut menentukan judul film hentay yang akan di tonton.

Gotong royong yang kami terapkan adalah dengan cara saling membantu mencari nafkah untuk makan sehari-hari. Ya, kami kuliah sambil mencari nafkah dengan cara kami sendiri. Dengan cara memanfaatkan keahlian kami. Sebenarnya lebih tepatnya hanya memanfaatkan keahlian Irfan saja, kami bertiga hanya pemberi semangat dan menikmati hasil keahlian dia.

Irfan adalah mahasiswa yang rajin. Rajin ngapelin pacarnya, rajin ngutang di warung, dan rajin potong kuku sebelum berangkat shalat jum’at. Selain rajin, Irfan juga jago main volinya. Ide mempekerjakan Irfan muncul saat kami mengalami susah makan. Karena makan sangat penting untuk kelangsungan hidup mahasiswa yang sering kelaparan seperti kami. Dari pada dia jago main voli tapi gak menghasilkan, mending kami memberi semangat dan memberikan dia musuh bertanding. Gak sembarang musuh. Musuh yang kami cari adalah musuh yang apabila kalah harus mau memberikan uangnya untuk modal kami makan.

Kami tidak pernah menyebut semua ini adalah judi, kami selalu menyebutnya “Cara mencari nafkah untuk bertahan hidup dari gempuran kelaparan”. 
Itulah cara kami, cara mahasiswa POK yang bisa memanfaatkan keahlian untuk bertahan hidup.

Apalagi saya mempuyai pengalaman pernah kehabisan uang gara-gara ban motor saya pecah. Saat itu saya berangkat kuliah dari rumah berdua dengan Dedi. Dia saya boncengin di belakang sambil meluk saya. Sedang enak-enaknya ngobrol menceritakan masa depan kita berdua mau di bawa kemana, tiba-tiba ada suara “Dar... dar...!!!”. Bukan telur yang sedang di masak, itu adalah suara ban motor yang pecah. Gak nanggung-nanggung, pecahnya depan belakang bersamaan. Saya sedih pengen nangis. Bukan nangis karena ban yang pecah, tapi karena terharu. Terharu melihat ban yang mau sehidup-semati selalu besama-sama.

Akhirnya kami menuntun motor yang sedang sekarat ke bengkel, dengan terpaksa uang di dalam dompet saya habis untuk bayar ban luar-dalam dan depan-belakang yang pecah. Setelah kedua ban beres diganti semua, kamipun melanjutkan perjalanan dengan bahagia.

Sebelum ke kampus kami mampir ke kost untuk menaruh barang bawaan kami, sesampainya di kost kami masuk. Pintu kamar kost saya tendang. Di dalam kamar kost sudah ada Irfan dan Shandy. 2 cowok di dalam kamar kost yang sempit. Saya gak peduli dengan pemandangan ini, dan saya gak curiga dengan apa yang sudah mereka lakukan berdua. Karena saya yakin tipe cowok idaman Shandy cowok-cowok yang berotot, bertubuh kekar, dan berkumis tebal. Sedangkan Irfan gak berkumis dan bertubuh kekar. Atau mungkin Shandy sudah mengubah seleranya.

Kedua ban menggantung di leher saya, rasanya saya sudah seperti pembalap yang baru saja memenangi seri balapan dan mendapatkan medali. 
Sambil melepas medali, maksud saya ban yang masih tergantung di leher saya. Kalimat bejat itu keluar dari bibir seksi saya. “Aku makan ikut kalian”.

Saya langsung rebahan di lantai sambil menceritakan kejadian yang baru saja kami berdua alami. Dengan raut wajah heran dan gak percaya, Shandy dan Irfan malah ngetawain kami. Itulah teman, kadang saat kita merasa susah mereka malah mengajak kita menertawakannya bersama untuk mengibur dan meringankan kegelisahan yang kita rasakan.

Mau gak mau Irfan harus turun ke lapangan voli lagi untuk sesuap nasi dengan lauk rendang daging sapi dan segelas milkshake. Kami berpegang teguh dan mempunyai standar dalam menentukan menu makanan, bahwa sesusah-susahnya kami di kost makan harus dengan daging. Mahasiswa POK tidak lepas dari 4 sehat 5 sempurna. Haram hukumnya makan mie instan karena mahasiswa POK sadar kesehatan. 
Ini antara sekumpulan spesies mahasiswa gak tahu diri atau memang gak nyadar jiwa gembelnya memang beda tipis.

Banyak cara yang dilakukan mahasiswa sekarang untuk bertahan hidup di perantauan, dari ikut kerja paruh waktu, buka les privat, sampai jualan. Tapi kami punya cara sendiri.

Artikel Terkait