Saya sangat bahagia dengan apa yang sudah saya capai saat ini walaupun saya merasa masih kurang puas. Salah satu kebahagiaan itu adalah saya dan istri telah dikaruniai jagoan kecil yang gantengnya ngalahin Ayahnya. Sebetulnya sakit banget rekor ganteng yang sudah saya pertahankan cukup lama (versi saya pribadi) dipecahkan anak sendiri. Sekarang setiap saya jalan sudah nggak ada yang mengelu-elukan nama saya lagi, padahal dulu juga nggak ada yang mau mengelu-elukannya. Mungkin mereka semua jijik sama saya. Sekalinya ada yang teriak, mereka malah neriakin saya copet
Nama yang dielu-elukan sudah berganti. Setiap sore saat saya gendong Hafizh keluar rumah pasti ada aja yang manggil dia. Dari ibu-ibu, bapak-bapak, sampai anak kecil. Pasti ada yang manggil “Hafizh ganteng!!!”. Saya cemburu kenapa nggak ada yang manggil “Ayahnya Hafizh ganteng!!!”. Setidak-tidaknya mereka bisa berbohong untuk membuat saya sedikit merasa senang. Saya sadar, jangankan tetangga. Istri saya saja sekarang sudah nggak mau muji-muji saya lagi.
Saya nggak pernah menaruh curiga dengan istri saya kenapa dia bisa ngelahirin anak yang ganteng banget. Itu karena saya juga ngerasa kalau saya ini juga ganteng banget. Atau memang saya yang kepedean ngerasa ganteng padahal cuma hoax.
Kenapa setiap ada orang yang mempunyai anak kecil, pasti ada juga tipe orang-orang yang suka muji si anak kecil ini. Dan anehnya nggak ada yang mau muji hasil kerja keras kedua orang tuanya saat proses pembuatannya. Yang mereka lihat hanya hasilnya, bukan prosesnya. Harusnya mereka juga menghargai usaha yang saya lakukan untuk menghasilkan anak yang ganteng. Apa mereka nggak mau tahu cara-cara apa saja yang sudah saya lakukan?
Apapun itu yang penting tujuan saya untuk memperbaiki keturunan sejauh ini berjalan dengan lancar. Sebelum menikah saya sering ngaca dan berpikir, muka kayak gini nantinya bisa punya anak kayak apa? Makanya dulu saya mempunyai standar minimal yang sangat tinggi untuk menentukan calon istri. Mau nggak mau saya harus nyari perempuan yang … ehmmm… cantik, anggun, nggak berjakun, dan nggak berbulu dada lebat. Yang jadi masalah ternyata juga banyak perempuan cantik mempunyai standar tinggi dalam menentukan pasangan mereka kelak.
Tapi saya nggak nyerah begitu saja, karena saya yakin nggak semua perempuan cantik itu pinter. Pasti masih punya celah untuk bisa dibohongi. Contohnya istri saya, cantik, anggun, berotot kuli, rajin ngomel, dan pinter. Tapi saya lebih pinter dari dia, buktinya dia dengan suka cita mau mengadopsi saya menjadi suaminya. Kurang pinter apa saya? Laki-laki muka suram tapi otaknya terang benderang.
Dan mempunyai anak ganteng itu bisa membuat saya ikut merasa bangga, bisa saya pamerkan di sosial media, bisa saya pamerkan sama banyak orang, dan dipasar gelap harga jual anaknya juga pasti mahal. *Plakkk!!! *Digampar istri… Gara-gara kelewat ganteng, saya takutnya kalau dia jadi terjerat star syndrom, jadi sombong dan songong. Padahal umurnya sekarang ini baru 7 bulan. Nggak kebayang kan kalau bayi umur 7 bulan kena star syndrom jadinya kayak apa. Pup saja masih minta bantuan, gigi saja baru satu, kumis saja belum tumbuh.
Kalau saya ikut merasa bangga karena mempunyai anak yang ganteng, sekarang pertanyaannya adalah apakah Hafizh juga merasa bangga terhadap saya? Jangan-jangan saat dia sudah bisa ngomong nanti dan mulai sadar kalau muka saya mirip arca candi, dia lebih suka manggil saya Pakdhe ketimbang Ayah. Ngeri juga kalau dia sampai manggil saya Pakdhe.
Seganteng-gantengnya Hafizh kalau dia kentut suaranya sudah mirip banget kayak motor dengan knalpot racing. Dan bau kentutnya bisa menjadi salah satu penyumbang terbesar polusi udara sekecamatan. Saya nggak tahu harus tetap merasa bangga atau saya harus jedotin kepala ketembok setiap dia kentut. Belum cukup kesengsaraan yang saya rasakan karena bau kentut istri saya, sekarang tambah satu personil dengan kentut yang sama-sama bisa menimbulkan suara bising dan bau menyengat. Sungguh menjadi kolaborasi hebat di abad ini. Kenapa istri saya tega mewariskan hobi kentut kepada anaknya. Dia nggak memikirkan masa depan anaknya yang harus bisa menjaga imagenya. Masa ganteng-ganteng suka kentut. Semoga Hafizh tabah menjalani kehidupan yang semakin kejam ini.
Sepertinya saya harus mengajarkan Hafizh banyak hal tentang bagaimana cara kentut, agar tetap terlihat ganteng dan menawan. Jangan sampai kentut mengurangi tingkat kegantengannya. Setidaknya dia nggak malu-maluin keluarga saat dia diajak main ibu-ibu komplek. Sambil digendong ibu-ibu komplek tiba-tiba Hafizh kentut “Breotototot...!!!”. Kejadian seperti inilah yang bisa mencoreng nama baik keluarga. Saat dia kentut, dia harus cepat-cepat mengalihkan isu kentut atau segera melancarkan strategi kebohongan publik dengan berbagai gimik yang dia buat.
Mungkin dia bisa menutupi hidungnya sendiri sambil tangannya nunjuk kucing yang kebetulan sedang lewat, seakan-akan kentut itu keluar dari pantat kucing. Atau setelah kentut dia bisa langsung guling-guling nangis, padahal nangisnya cuma gimik doang. Dengan berpura-pura menangis nggak akan ada yang tega memarahi dia.
Nggak cuma mengajarkan cara kentut, saya juga harus memberikan tutorial bagaimana cara memanfaatkan kegantengannya dengan bijaksana dan tetap bersahaja agar tidak menjadi play boy. Muka ganteng mempunyai banyak sekali resiko. Dari di cap sebagai play boy, suka PHP-in orang, gebetannya dimana-mana, sering di godain. Ah… pokoknya banyak banget resikonya. Untuk meminimalisir itu semua, dari sekarang Hafizh selalu saya tegur ketika dia sok kegantengan di depan orang-orang. Saya takutnya banyak orang yang jadi baper ketika Hafizh ngasih perhatian lebih.
Hah… dasar anak ganteng.
Nama yang dielu-elukan sudah berganti. Setiap sore saat saya gendong Hafizh keluar rumah pasti ada aja yang manggil dia. Dari ibu-ibu, bapak-bapak, sampai anak kecil. Pasti ada yang manggil “Hafizh ganteng!!!”. Saya cemburu kenapa nggak ada yang manggil “Ayahnya Hafizh ganteng!!!”. Setidak-tidaknya mereka bisa berbohong untuk membuat saya sedikit merasa senang. Saya sadar, jangankan tetangga. Istri saya saja sekarang sudah nggak mau muji-muji saya lagi.
Saya nggak pernah menaruh curiga dengan istri saya kenapa dia bisa ngelahirin anak yang ganteng banget. Itu karena saya juga ngerasa kalau saya ini juga ganteng banget. Atau memang saya yang kepedean ngerasa ganteng padahal cuma hoax.
Kenapa setiap ada orang yang mempunyai anak kecil, pasti ada juga tipe orang-orang yang suka muji si anak kecil ini. Dan anehnya nggak ada yang mau muji hasil kerja keras kedua orang tuanya saat proses pembuatannya. Yang mereka lihat hanya hasilnya, bukan prosesnya. Harusnya mereka juga menghargai usaha yang saya lakukan untuk menghasilkan anak yang ganteng. Apa mereka nggak mau tahu cara-cara apa saja yang sudah saya lakukan?
Apapun itu yang penting tujuan saya untuk memperbaiki keturunan sejauh ini berjalan dengan lancar. Sebelum menikah saya sering ngaca dan berpikir, muka kayak gini nantinya bisa punya anak kayak apa? Makanya dulu saya mempunyai standar minimal yang sangat tinggi untuk menentukan calon istri. Mau nggak mau saya harus nyari perempuan yang … ehmmm… cantik, anggun, nggak berjakun, dan nggak berbulu dada lebat. Yang jadi masalah ternyata juga banyak perempuan cantik mempunyai standar tinggi dalam menentukan pasangan mereka kelak.
Tapi saya nggak nyerah begitu saja, karena saya yakin nggak semua perempuan cantik itu pinter. Pasti masih punya celah untuk bisa dibohongi. Contohnya istri saya, cantik, anggun, berotot kuli, rajin ngomel, dan pinter. Tapi saya lebih pinter dari dia, buktinya dia dengan suka cita mau mengadopsi saya menjadi suaminya. Kurang pinter apa saya? Laki-laki muka suram tapi otaknya terang benderang.
Dan mempunyai anak ganteng itu bisa membuat saya ikut merasa bangga, bisa saya pamerkan di sosial media, bisa saya pamerkan sama banyak orang, dan dipasar gelap harga jual anaknya juga pasti mahal. *Plakkk!!! *Digampar istri… Gara-gara kelewat ganteng, saya takutnya kalau dia jadi terjerat star syndrom, jadi sombong dan songong. Padahal umurnya sekarang ini baru 7 bulan. Nggak kebayang kan kalau bayi umur 7 bulan kena star syndrom jadinya kayak apa. Pup saja masih minta bantuan, gigi saja baru satu, kumis saja belum tumbuh.
Kalau saya ikut merasa bangga karena mempunyai anak yang ganteng, sekarang pertanyaannya adalah apakah Hafizh juga merasa bangga terhadap saya? Jangan-jangan saat dia sudah bisa ngomong nanti dan mulai sadar kalau muka saya mirip arca candi, dia lebih suka manggil saya Pakdhe ketimbang Ayah. Ngeri juga kalau dia sampai manggil saya Pakdhe.
Seganteng-gantengnya Hafizh kalau dia kentut suaranya sudah mirip banget kayak motor dengan knalpot racing. Dan bau kentutnya bisa menjadi salah satu penyumbang terbesar polusi udara sekecamatan. Saya nggak tahu harus tetap merasa bangga atau saya harus jedotin kepala ketembok setiap dia kentut. Belum cukup kesengsaraan yang saya rasakan karena bau kentut istri saya, sekarang tambah satu personil dengan kentut yang sama-sama bisa menimbulkan suara bising dan bau menyengat. Sungguh menjadi kolaborasi hebat di abad ini. Kenapa istri saya tega mewariskan hobi kentut kepada anaknya. Dia nggak memikirkan masa depan anaknya yang harus bisa menjaga imagenya. Masa ganteng-ganteng suka kentut. Semoga Hafizh tabah menjalani kehidupan yang semakin kejam ini.
Sepertinya saya harus mengajarkan Hafizh banyak hal tentang bagaimana cara kentut, agar tetap terlihat ganteng dan menawan. Jangan sampai kentut mengurangi tingkat kegantengannya. Setidaknya dia nggak malu-maluin keluarga saat dia diajak main ibu-ibu komplek. Sambil digendong ibu-ibu komplek tiba-tiba Hafizh kentut “Breotototot...!!!”. Kejadian seperti inilah yang bisa mencoreng nama baik keluarga. Saat dia kentut, dia harus cepat-cepat mengalihkan isu kentut atau segera melancarkan strategi kebohongan publik dengan berbagai gimik yang dia buat.
Mungkin dia bisa menutupi hidungnya sendiri sambil tangannya nunjuk kucing yang kebetulan sedang lewat, seakan-akan kentut itu keluar dari pantat kucing. Atau setelah kentut dia bisa langsung guling-guling nangis, padahal nangisnya cuma gimik doang. Dengan berpura-pura menangis nggak akan ada yang tega memarahi dia.
Nggak cuma mengajarkan cara kentut, saya juga harus memberikan tutorial bagaimana cara memanfaatkan kegantengannya dengan bijaksana dan tetap bersahaja agar tidak menjadi play boy. Muka ganteng mempunyai banyak sekali resiko. Dari di cap sebagai play boy, suka PHP-in orang, gebetannya dimana-mana, sering di godain. Ah… pokoknya banyak banget resikonya. Untuk meminimalisir itu semua, dari sekarang Hafizh selalu saya tegur ketika dia sok kegantengan di depan orang-orang. Saya takutnya banyak orang yang jadi baper ketika Hafizh ngasih perhatian lebih.
Hah… dasar anak ganteng.